Senin, 18 November 2013

MARJINALISASI EKONOMI DAN DEGRADASI BUDAYA MASYARAKAT PAPUA DALAM PERSPEKTIF KAJIAN BUDAYA DI PROVINSI PAPUA



MARJINALISASI EKONOMI DAN DEGRADASI BUDAYA MASYARAKAT PAPUA DALAM PERSPEKTIF KAJIAN BUDAYA DI PROVINSI PAPUA

BAB I
pendahuluan
Dalam kaitannya dengan rasionalisasi global, takluknya negara dunia ketiga dari negara Barat tidak dapat dipisahkan dari bagian sistematis perkembangan dunia secara global. Pergeseran budaya sebagai akibat perkembangan pesat teknologi komunikasi mendorong perubahan-perubahan pandangan ekonomi di berbagai negara-negara maju, dan berdampak secara langsung pada berbagai aspek sosial budaya. Kemajuan ekonomi yang pesat tidak mungkin terjadi tanpa adanya penyesuaian-penyesuaian yang menyakitkan. Filosofi-filosofi lama telah bergeser, lembaga-lembaga sosial lama telah hancur, ikatan-ikatan kasta, kepercayaan dan ras harus dilepaskan, dan sejumlah besar orang yang tidak bisa mengikuti perkembangan akan mengalami frustasi karena harapan mereka untuk mendapatkan hidup yang nyaman tidak tercapai. Terlapas pemahaman dari menurut Tehranian (1979) bahwa transisi historis yang besar selalu meminta ongkos manusiawi  (human cost) yang berat dan merusak tradisi peradaban dan mamperlemah ikatan rasa kemanusiaan. Dalam hal ini proses modernisasi telah menunjukan suatu kecendurungan yang selalu melekat (Inheren) dalam latar (setting) Historis yang berbeda arah alinasi. tenaga kerja, otomasisasi masyarakat, birokrasi penguwasa, homogenisasi kebudayaan, Perubahaan pola pikir sehingga memberikan ruang untuk meningkatnya level dominasi atas alam dan masyarakat pribumi Indonesia .
Freddy Numberi(2013 :185) seorang tokoh   Papua yang cukup berpengaruh dalam bukunya Papua, Sebuah Noktah Sejarah, tulisan tersebut dipublikasikan bertepatan dengan 50 tahun pasca bergabungnya Papua dengan Indonesia. Yang menarik adalah bahwasanya tulisan ini dibuat dari sudut pandang orang Papua, bagimana mereka memandang berbagai persolan yang terjadi selama ini teruma marjinalisasi masyarakat papua. Tanah Papua secara administratif terdiri atas Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Provinsi Papua terbagi atas 1 kota dan 19 kabupaten sementara Provinsi Papua Barat terdiri atas 1 kota dan 8 kabupaten. Papua bergabung dengan Indonesia pada 1 Mei 1963, merupakan yang terakhir bergabung dengan Indonesia.  Mengapa demikian? Karena banyak kepentingan disana, mulai dari Belanda, Amerika, Australia, dan perusahaan transnasional sehingga Papua menjadi rebutan.  Amerika kala itu mendukung Papua untuk bergabung dengan Indonesia, sebagai konsensinya adalah berdirinya Freeport pada tahun 1966 yang mendzolimi Papua sampai saat ini. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969 dimana hasilnya 1.024 wakil dari Papua memilih bergabung dengan Indonesia menguatkan status politik Papua namun ironisnya 50 tahun pasca bergabung, Indonesia belum mampu pemerintah Indonesia membentuk pola beberpikir secara kontruktif agar supaya  mereka lebih produktif dan aktif bukan pasif seperti sekang. Bangsa merupakan sebuah konsepsi kultural, dimana bangsa lahir karena persamaan-persamaan diantaranya adalah persamaan nasib, ras, dan kebudayaan. Sampai saat ini persamaan nasib belum dirasakan oleh masyarakat Papua. Kemiskinan, kebodohan, kesehatan yang buruk, ketidak adilan, dan kekrasan
Menurut hasil penelitian LIPI tahun 2004, sumber konflik di Papua mencakup empat isu , yakni sejarah integrasi dan identitas, kekerasan politik, kegagalan pembangunan, dan marjinalisasi orang Papua asli. Sejarah integrasi dan identitas. Terdapat perbedaan tajam dalam konstruksi nasionalisme Indonesia dan nasionalisme Papua. Para nasionalis Indonesia menganggap Papua merupakan bagian dari masyarakat Indonesia terlepas perbedaan ras maupun kebudayaan. Namun menurut nasionalis papua, ke-papua-an didasarkan pada perbedaan ras antara orang Indonesia ras Melayu dengan orang papua ras Melanesia.  Nasionalisme Papua tersebut menurut Chauvel (Muridan S. Widjojo, dkk, 2008: 9) dibentuk oleh empat faktor utama, yaitu kekecewaan sejarah pengintegrasian papua dengan indonesia, persaingan elite papua dengan pejabat-bejabat Indonesia yang mendominasi pemerintahan sejak periode kolonial belanda, pembangunan ekonomi dan pemerintahan di papua melanjutkan sense of different, dan banyaknya pendatang dari luar Papua yang menimbulkan perasaan bahwa orang papua termarginalkan. Kunci utama lahirnya kemiskinan dan ketertinggalan di papua adalah proses pendidikan karakter orang papua yang salah pasca Orde baru, karena lebih mengedepan kekusaan dengan politik kekerasan dalam mempertahankan ideologi pada orde baru. Pada saat itu Konstruksi nasionalisme Indonesia lebih mengedepankan secara militeristik, dengan bermaksud keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati dan gagasan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah melawan hukum.dalam hal dalil – dalil slogan’’ Harga mati Negara Kesatuan Republik Indonesia’setelah papua menjadi bagian dari Indonesia, cara dan proses pendekatan yang dilakukan oleh Pemerintah indonesia terhadap masyarakat pribumi papua pada masa orde baru yang tidak tepat, dimana negara direpresentasikan oleh militer. Bahkan sampai saat ini meskipun Orde baru telah jatuh masih melakukan pendekatan militer. Dalam hal konteks  Nagara sah – sah saja melakukan berbagai bentuk pendekatan dalam mempertahankan kedaulatan negara. Namun yang menjadi pertanyaannya adalah apabilah wacana harga mati NKRI pada Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)  tahun 1969  tersebut sebuah makna ideologi sebuah bangsa untuk menjamin dan melindungi hak – hak dasar masyarakat pribumi maka seharusnya Negara memiliki tangungjawab moral untuk membangun karakter orang papua sebagaimana masyarakat lain di indonesia? Ataukah sebuah wacana hegomoni dalam merebut hati rakyat papua, dengan demikian dapat  eksploitasi sumber daya alam papua? dan pertanyaan ini sangat rentan dengan realitas masyarakat papua yang selama ini menjadi marjinalkan oleh pendatang atas negerinya sendiri yaitu sektor ekonomi, politik, pendidikan,kesehatan sedangkan orang papua menjadi penonton di negerinya sendiri maka itu perluh dekontruksi kembali dimana letak  permasalahannya sehingga dapat rekontruksi kembali  permasalahannya. Jakalau hal tersebut belum di dekontruksi maka akan menimbulkan berbagai masalah horizontal maupun pertikal dalam kehidupan masyarakat papua sehingga menimbulkan kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan kekerasan.
Kegagalan pembangunan pembangunan ekonomi dan migrasi di Papua pada masa Orde Baru yang dimaknai negara sebagai usaha peningkatan kesejahteraan dipandang oleh rakyat Papua sebagai upaya eksploitasi sumber daya alam Papua dan marginalisasi rakyat papua. Di era reformasi, keberadaan Otsus tidak menjamin terciptanya kesejahteraan dan pembangunan ekonomi untuk rakyat Papua. Yang relatif lebih diuntungkan dari pembangunan di tanah Papua adalah warga pendatang yang memanfaatkan peluang tersebut sedangkan masyarakat papua menjadi pembeli potensial sehingga setiap dana otonomi khusus yang diperuntukan untuk orang papua masuk kembali ditangan kapitalis pendatang serta peredaran uang di masyarakat berkurang .
 Marginalisasi yang dialami orang Papua tercermin dari beberapa aspek yakni demografi, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya. Jumlah orang asli papua mengalami penurunan sebagai akibat dari banyaknya pendatang.
Dari hal di atas maka diperlukan pemahaman yang tepat dari semua pihak baik pemerintah pusat, TNI, masyarakat Papua, dan pihak-pihak lainnya terhadap konflik di Papua sehingga akan tercipta langkah-langkah konstruktif dan progresif yang akan bermuara pada terciptanya chemistry antara Papua dengan Indonesia. melihat kondisi ini kami sebagai akademisi mencoba mentelanjangi dan dekontruksi berbagai bergai gejala sosial dengan mengunakan perspektif Kajian budaya ( cultural studies)  pemikiran ini bertolak dari pemikiran’. Littlejonh fan foss sebagaimana dikutip oleh atmadja: (2011: 137:menegaskan bahwa
ilmu bersifat netral, apa yang mencoba dilakukan oleh akademisi adalah untuk mengungkapkan fakta sebagai mana adanya ketika nilai – nilai ilmuwan menimpa karya mereka, maka hasilnya adalah ilmu pengetahuan yang buruk’
Di provinsi papua mekanisme-mekanisme ekspolitasi dan dominasi tetap terjadi, dengan berbagai bentuk saat ini semakin dirasakan. Realitas membuktikan bahwa kekuatan dipraktekkan terutama demi memelihara eksploitasi ekonomi, melokalisir perjuangan-perjuangan melawan bentuk-bentuk dominasi dan penaklukan, dilakukan oleh kelompok-kelompok dan berbagai individu melawan bentuk-bentuk kekuatan tertentu hal sulit untuk dihindari dalam era globalisasi ini sehingga terjadi marjinalisasi di berbagai lini kehidupan masyarakat papua .berdasarkan realitas ini menurut Pdt.socratez sofyan Yoman (2004 :229) selama Jakarta masih belum mau berubah posisi papua dari'’  wilayah bermasalah’’ ke posisi provinsi indonesia yang normal” masih adakah harapan untuk memperlakukan papua dan manusianya sebagai bagian dari Indonesia yang normal dengan kekkhasannya ataukah Jakarta sulit merubah paradigmanya karena papua memang sudah ditetapkan sebagai’’ kambing hitam nasional “ untuk berbagai kepentingan politik di Jakarta’’
Pernyataan reflektif ini mengambarkan pertanyaan kecemburuan masyarakat papua dalam kondisi ketidak berdayaan masyarakat dalam menghadapi realiatas kehidupan masyarakat pribumi papua karena penduduk aslinya akan terus dimarjinalkan sehingga kehilangan control Kulturalnya atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Roda ekonomi di papua dikusai oleh pendatang jika orang papua menjadi tuan di negerinya sendiri maka tepatutnya  pemerintah memiliki rasa tangung jawad moral terhadap masyarakat pribumi dalam dididik,diberdayakan, serta diasah kemampuannya sehingga masyarakat papua tidak lagi menjadi konsumen terbesar di papua jadi sedikit terasa saat ini dampak dari penguwasaan ekonomi dan keuangan itu oleh para intelektual papua,pejabat papua tidak melihat hal ini sebagai ancaman serius bagi kelangsungan orang asli pribumi papua.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar