MARJINALISASI
EKONOMI DAN DEGRADASI BUDAYA MASYARAKAT PAPUA DALAM PERSPEKTIF KAJIAN BUDAYA DI
PROVINSI PAPUA
BAB
I
pendahuluan
Dalam kaitannya dengan rasionalisasi global, takluknya
negara dunia ketiga dari negara Barat tidak dapat dipisahkan dari bagian
sistematis perkembangan dunia secara global. Pergeseran budaya sebagai akibat
perkembangan pesat teknologi komunikasi mendorong perubahan-perubahan pandangan
ekonomi di berbagai negara-negara maju, dan berdampak secara langsung pada
berbagai aspek sosial budaya. Kemajuan ekonomi yang pesat tidak mungkin terjadi
tanpa adanya penyesuaian-penyesuaian yang menyakitkan. Filosofi-filosofi lama
telah bergeser, lembaga-lembaga sosial lama telah hancur, ikatan-ikatan kasta,
kepercayaan dan ras harus dilepaskan, dan sejumlah besar orang yang tidak bisa
mengikuti perkembangan akan mengalami frustasi karena harapan mereka untuk
mendapatkan hidup yang nyaman tidak tercapai. Terlapas
pemahaman dari menurut Tehranian (1979) bahwa transisi historis yang besar
selalu meminta ongkos manusiawi (human
cost) yang berat dan merusak tradisi peradaban dan mamperlemah ikatan rasa
kemanusiaan. Dalam hal ini proses modernisasi telah menunjukan suatu
kecendurungan yang selalu melekat (Inheren) dalam latar (setting) Historis yang
berbeda arah alinasi. tenaga kerja, otomasisasi masyarakat, birokrasi
penguwasa, homogenisasi kebudayaan, Perubahaan pola pikir sehingga memberikan
ruang untuk meningkatnya level dominasi atas alam dan masyarakat pribumi
Indonesia .
Freddy
Numberi(2013 :185) seorang tokoh Papua yang cukup berpengaruh dalam
bukunya Papua, Sebuah Noktah Sejarah, tulisan tersebut dipublikasikan
bertepatan dengan 50 tahun pasca bergabungnya Papua dengan Indonesia. Yang
menarik adalah bahwasanya tulisan ini dibuat dari sudut pandang orang Papua, bagimana
mereka memandang berbagai persolan yang terjadi selama ini teruma marjinalisasi
masyarakat papua. Tanah Papua secara administratif terdiri atas Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat. Provinsi Papua terbagi atas 1 kota dan 19 kabupaten
sementara Provinsi Papua Barat terdiri atas 1 kota dan 8 kabupaten. Papua
bergabung dengan Indonesia pada 1 Mei 1963, merupakan yang terakhir bergabung
dengan Indonesia. Mengapa demikian? Karena banyak kepentingan disana,
mulai dari Belanda, Amerika, Australia, dan perusahaan transnasional sehingga
Papua menjadi rebutan. Amerika kala itu mendukung Papua untuk bergabung
dengan Indonesia, sebagai konsensinya adalah berdirinya Freeport pada tahun
1966 yang mendzolimi Papua sampai saat ini. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)
pada tahun 1969 dimana hasilnya 1.024 wakil dari Papua memilih bergabung dengan
Indonesia menguatkan status politik Papua namun ironisnya 50 tahun pasca
bergabung, Indonesia belum mampu pemerintah Indonesia membentuk pola beberpikir
secara kontruktif agar supaya mereka
lebih produktif dan aktif bukan pasif seperti sekang. Bangsa merupakan sebuah
konsepsi kultural, dimana bangsa lahir karena persamaan-persamaan diantaranya
adalah persamaan nasib, ras, dan kebudayaan. Sampai saat ini persamaan nasib
belum dirasakan oleh masyarakat Papua. Kemiskinan, kebodohan, kesehatan yang
buruk, ketidak adilan, dan kekrasan
Menurut hasil penelitian LIPI tahun 2004, sumber konflik di
Papua mencakup empat isu , yakni sejarah integrasi dan identitas, kekerasan
politik, kegagalan pembangunan, dan marjinalisasi orang Papua asli. Sejarah integrasi dan identitas. Terdapat
perbedaan tajam dalam konstruksi nasionalisme Indonesia dan nasionalisme Papua.
Para nasionalis Indonesia menganggap Papua merupakan bagian dari masyarakat
Indonesia terlepas perbedaan ras maupun kebudayaan. Namun menurut nasionalis
papua, ke-papua-an didasarkan pada perbedaan ras antara orang Indonesia ras
Melayu dengan orang papua ras Melanesia. Nasionalisme Papua tersebut menurut
Chauvel (Muridan S. Widjojo, dkk, 2008: 9) dibentuk oleh empat faktor utama,
yaitu kekecewaan sejarah pengintegrasian papua dengan indonesia, persaingan
elite papua dengan pejabat-bejabat Indonesia yang mendominasi pemerintahan
sejak periode kolonial belanda, pembangunan ekonomi dan pemerintahan di papua
melanjutkan sense of different, dan banyaknya pendatang dari luar Papua
yang menimbulkan perasaan bahwa orang papua termarginalkan. Kunci utama
lahirnya kemiskinan dan ketertinggalan di papua adalah proses pendidikan
karakter orang papua yang salah pasca Orde baru, karena lebih mengedepan
kekusaan dengan politik kekerasan
dalam mempertahankan ideologi pada orde baru. Pada saat itu Konstruksi
nasionalisme Indonesia lebih mengedepankan secara militeristik, dengan
bermaksud keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati dan
gagasan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
melawan hukum.dalam hal dalil – dalil slogan’’ Harga mati Negara Kesatuan Republik
Indonesia’setelah papua menjadi bagian dari Indonesia, cara dan proses
pendekatan yang dilakukan oleh Pemerintah indonesia terhadap masyarakat pribumi
papua pada masa orde baru yang tidak tepat, dimana negara direpresentasikan
oleh militer. Bahkan sampai saat ini meskipun Orde baru telah jatuh masih
melakukan pendekatan militer. Dalam hal konteks Nagara sah – sah saja melakukan berbagai
bentuk pendekatan dalam mempertahankan kedaulatan negara. Namun yang menjadi
pertanyaannya adalah apabilah wacana harga mati NKRI pada Penentuan Pendapat
Rakyat (Pepera) tahun 1969 tersebut sebuah makna ideologi sebuah bangsa
untuk menjamin dan melindungi hak – hak dasar masyarakat pribumi maka seharusnya
Negara memiliki tangungjawab moral untuk membangun karakter orang papua sebagaimana
masyarakat lain di indonesia? Ataukah sebuah wacana hegomoni dalam merebut hati
rakyat papua, dengan demikian dapat
eksploitasi sumber daya alam papua? dan pertanyaan ini sangat rentan
dengan realitas masyarakat papua yang selama ini menjadi marjinalkan oleh pendatang
atas negerinya sendiri yaitu sektor ekonomi, politik, pendidikan,kesehatan
sedangkan orang papua menjadi penonton di negerinya sendiri maka itu perluh
dekontruksi kembali dimana letak
permasalahannya sehingga dapat rekontruksi kembali permasalahannya. Jakalau hal tersebut belum di
dekontruksi maka akan menimbulkan berbagai masalah horizontal maupun pertikal
dalam kehidupan masyarakat papua sehingga menimbulkan kemiskinan, kebodohan,
ketertinggalan, dan kekerasan.
Kegagalan pembangunan pembangunan ekonomi dan migrasi di
Papua pada masa Orde Baru yang dimaknai negara sebagai usaha peningkatan
kesejahteraan dipandang oleh rakyat Papua sebagai upaya eksploitasi sumber daya
alam Papua dan marginalisasi rakyat papua. Di era reformasi, keberadaan Otsus
tidak menjamin terciptanya kesejahteraan dan pembangunan ekonomi untuk rakyat
Papua. Yang relatif lebih diuntungkan dari pembangunan di tanah Papua adalah
warga pendatang yang memanfaatkan peluang tersebut sedangkan masyarakat papua
menjadi pembeli potensial sehingga setiap dana otonomi khusus yang diperuntukan
untuk orang papua masuk kembali ditangan kapitalis pendatang serta peredaran
uang di masyarakat berkurang .
Marginalisasi yang
dialami orang Papua tercermin dari beberapa aspek yakni demografi, sosial
ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya. Jumlah orang asli papua mengalami
penurunan sebagai akibat dari banyaknya pendatang.
Dari hal di atas maka diperlukan
pemahaman yang tepat dari semua pihak baik pemerintah pusat, TNI, masyarakat
Papua, dan pihak-pihak lainnya terhadap konflik di Papua sehingga akan tercipta
langkah-langkah konstruktif dan progresif yang akan bermuara pada terciptanya chemistry
antara Papua dengan Indonesia. melihat kondisi ini
kami sebagai akademisi mencoba mentelanjangi dan dekontruksi berbagai bergai
gejala sosial dengan mengunakan perspektif Kajian budaya ( cultural
studies) pemikiran ini bertolak dari
pemikiran’. Littlejonh fan foss sebagaimana dikutip oleh atmadja: (2011:
137:menegaskan bahwa
“ilmu bersifat netral, apa yang mencoba dilakukan oleh akademisi adalah
untuk mengungkapkan fakta sebagai mana adanya ketika nilai – nilai ilmuwan
menimpa karya mereka, maka hasilnya adalah ilmu pengetahuan yang buruk’’
Di provinsi papua mekanisme-mekanisme
ekspolitasi dan dominasi tetap terjadi, dengan berbagai bentuk saat ini semakin
dirasakan. Realitas membuktikan bahwa kekuatan dipraktekkan terutama demi
memelihara eksploitasi ekonomi, melokalisir perjuangan-perjuangan melawan bentuk-bentuk
dominasi dan penaklukan, dilakukan oleh kelompok-kelompok dan berbagai individu
melawan bentuk-bentuk kekuatan tertentu hal sulit untuk
dihindari dalam era globalisasi ini sehingga terjadi marjinalisasi di berbagai
lini kehidupan masyarakat papua .berdasarkan realitas ini menurut Pdt.socratez
sofyan Yoman (2004 :229) selama Jakarta masih belum mau berubah
posisi papua dari'’ wilayah bermasalah’’
ke posisi provinsi indonesia yang normal” masih adakah harapan untuk
memperlakukan papua dan manusianya sebagai bagian dari Indonesia yang normal
dengan kekkhasannya ataukah Jakarta sulit merubah paradigmanya karena papua
memang sudah ditetapkan sebagai’’ kambing hitam nasional “ untuk berbagai
kepentingan politik di Jakarta’’
Pernyataan
reflektif ini mengambarkan pertanyaan kecemburuan masyarakat papua dalam kondisi
ketidak berdayaan masyarakat dalam menghadapi realiatas kehidupan masyarakat
pribumi papua karena penduduk aslinya akan terus dimarjinalkan sehingga
kehilangan control Kulturalnya atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya.
Roda
ekonomi di papua dikusai oleh pendatang jika orang papua menjadi tuan di
negerinya sendiri maka tepatutnya
pemerintah memiliki rasa tangung jawad moral terhadap masyarakat pribumi
dalam dididik,diberdayakan, serta diasah kemampuannya sehingga masyarakat papua
tidak lagi menjadi konsumen terbesar di papua jadi sedikit terasa saat ini
dampak dari penguwasaan ekonomi dan keuangan itu oleh para intelektual
papua,pejabat papua tidak melihat hal ini sebagai ancaman serius bagi
kelangsungan orang asli pribumi papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar